
Kembali pemerintahan Jokowi menuai kritik, yang kali ini berasal dari Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar.
Menurut Zainal, tampak Jokowi kini mulai panik dalam usahanya memuaskan harapan masyarakat. Sampai-sampai Jokowi banyak mengabaikan hal yang terkait hukum. Misalnya saja, posisi MenkumHam, Menkopolkam, Jaksa Agung dipegang oleh politisi partai. Zainal menilai hal tersebut memerosotkan kepercayaan para aktivis anti korupsi dan anti kekerasan HAM terhadap Jokowi.
"Pasca-reformasi, baru kali ini posisi jaksa agung diserahkan ke orang partai," ujar Zainal di Yogyakarta, Sabtu, 29 November 2014.
Zainal menilai, dalam sistem pemerintahan baru, biasanya publik menaruh harapan yang begitu tinggi atas kinerja pemerintahan di masa awal. Namun di era Jokowi ini muncul banyak masalah, antara lain gagalnya penguatan sistem birokrasi yang transparan, akuntabel dan tidak koruptif.
Dicontohkan Zainal, harapan aktivis anti-korupsi pada awal masa pemerintahan Presiden SBY tahun 2004 sangatlah tinggi.
"Tapi di 2005 menurun drastis," kata Zainal.
Zainal merasa kebijakan Jokowi banyak kekurangan dalam proses ide, sosialisasi dan juga pelaksanaan.
"Akibatnya rentan koruptif dan sulit dipercaya publik."
Sebagai contoh, kata Zainal, ialah aspek integritas yang penting bagi pemegang jabatan di lembaga negara belum menjadi unsur penting dalam sistem kebijakan. Lihat saja kewenangan penganggaran bagi anggota dewan yang dapat digunakan untuk memutuskan kenaikan gajinya.
Contoh lainnya, di Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), wakil rakyat bisa diperkarakan di Dewan Kehormatan dengan izin pimpinan legislatif. Ketika pimpinan dewan yang terlibat pelanggaran justru dengan mudah muncul pertentangan kepentingan.
"Sistem pengendali tidak ada, masalah integritas jadi urusan personal, bukan sistem," kata dia.
Zainal pun menarik kesimpulan, sistem perumusan dan pelaksanaan kebijakan di Indonesia banyak yang bermasalah karena mengandung unsur konflik kepentingan yang tak bisa diantisipasi oleh sistem. Dengan demikian, potensi korupsi sangat besar.
"Kekuasaannya besar, punya kewenangan diskresi, tapi minus transparansi dan akuntabilitas," tambah Zainal.
"Saya pilih Jokowi, tapi sejak dia ucap 'Bukan Urusan Saya' saat bentrok di UMI, saya kecewa berat. Belum lagi ini urusan pemilihan perangkat hukum yang semuanya partisan. Gimana mau selesaikan kasus hukum yang mangkrak?" kata Ezra.
Mahasiswi fakultas hukum di sebuah universitas swasta di Jakarta ini turut menyatakan, Jokowi mestinya mampu mempertanggungjawabkan ucapannya, guna mempertahankan kepercayaan rakyat pada pemerintahan Jokowi.
"Sekarang ini kan, hampir semua omongan Jokowi gak bisa dipegang," tukasnya.
"Tadinya saya kira Pak Jokowi baik, sederhana dan gak neko-neko. Eh ternyata, kok setelah jadi Presiden, semuanya beda. Janjinya gak ada yang ditepati. Urusan kartu sakti aja ujung-ujungnya ternyata tender ke tim suksesnya. Parah." kata Ike, seorang psikolog yang juga mengaku memilih Jokowi di pemilu lalu.
Saat ditanya apakah masih percaya Jokowi, Ike menjawab, tingkat kepercayaannya sudah merosot, ditambah lagi, kini rumahnya kebanjiran.
"Merosot lah. Ini rumah juga kebanjiran. Kata Jokowi kan kalau dia sudah jadi Presiden, banjir di Jakarta bisa beres. Mana buktinya?" tanya Ike.
Memang kini Jokowi sudah jadi presiden. Persoalannya ialah, dengan mencla menclenya Jokowi, apalagi ucapannya yang terkesan tak peduli rakyat, bisakah Jokowi merebut kembali simpati rakyat?